Kamis, 07 Mei 2015

Etika Persaingan Brand dalam Kampanye Komunikasi Pemasaran


Level persaingan dalam suatu industri turut menentukan strategi komunikasi pemasaran terpadu, khususnya pada style komunikasi pesan pada periklanannya. Berbagai industri memiliki level persaingan yang bervariasi, namun demikin untuk industri-industri seperti barang konsumsi (makanan, minuman), toiletries merupakan sampel industri dengan level persaingan yang sangat tajam. Selain itu industri otomotif khususnya kendaraan roda dua juga memperlihatkan ketatnya persaingan antar beberapa varian brand terbaru yang menyulut model komunikasi yang cenderung tidak sehat. Sedangkan industri-industri barang kebutuhan sekunder memperlihatkan level persaingan yang agak longgar sehingga style komunikasi pemasarannya pun tidak sesengit industri barang konsumsi.
            Persaingan Produk Minuman
Industri minuman merupakan salah satu industri yang persaingannya sangat ketat di pasar Indonesia. Industri ini tidak saja diperankan oleh industri besar dan modern, tetapi juga pera pemainnya termasuk industri skala menengah dan skala kecil atau home industri. Variasi produknya juga sangat luas mulai dari minuman beralkohol, minuman berkarbonasi, minuman berenergi, air mineral, minuman sari buah, minuman sari daun seperti teh dan herbal lainnya, susu. Pemain-pemain besar dalam industri minuman yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta antara lain: PT Ades Alfindo Putrasetia, PT Aqua Golden Mississippi, PT Delta Djakarta Tbk, PT Dharma Niaga, PT Gunung Mas Santosoraya, PT Heinz ABC Indonesia, PT Monysaga Prima, Multi Bintang Indonesia PT Tbk, Orang Tua Group, PT Semak Industri, PT Sinar Sosro, PT Sumber Sari, PT Tangmas, PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co, PT Varia Industri Tirta, PT Asia Health Energy Beverages. Industri minuman di Indonesia semakin padat pemainnya dengan memperhitungkan pemain-pemain lokal yang bergerak dalam aneka minuman radisional, bahkan sebagian diproduksi home-industry. Persaingan ketat dalam industri minuman saat ini diperlihatkan oleh kategori minuman berenergi, minuman berkarbonasi, minuman teh, susu dan atau komposisinya dan air mineral. Aktivitas komunikasi pemasaran antar pemain besar inilah yang secara nyata memperlihatkan style komunikasi. Struktur persaingan pasar inilah yang kemudian memicu pola dan style komunikasi yang sebagian diantaranya (bisa) mengabaikan prinsip-prinsip etika dalam konteks persaingan yang sehat. Minuman berkarbonasi adalah jenis minuman yang bersoda yang dalam bahasa sehari-hari di pasar dikenal sebagai minuman ringan atau soft drink atau carbonated drink dikuasai oleh brand Coca Cola, Pepsi, Fanta, Sprite, 7 Up, sedangkan beberapa brand seperti F&N, Mirinda, dan Green Sands agak jarang beriklan, namun harus diperhitungkan dalam persaingan.
Minuman berenergi adalah jenis minuman yang mengandung bahan tambahan energy yang sering juga disebut sebagai suplemen untuk membantu menyegarkan tubuh pada saat kerja keras atau berolahraga. Saat ini persaingan produk minuman berenergi-cair dikuasi oleh beberapa merek, yaitu Krating Daeng, M-150, Hemaviton, Fits Up, dan Lipovitan. Sedangkan dalam bentuk bubuk beberapa brand sangat mendominasi kampanye pemasarannya seperti Extra Joss, Hemaviton Jreng, dan Sakatonik Greng serta brand Enerjos yang sempat muncul lalu menghilang pariwaranya.
Minuman air mineral adalah air minum biasa yang dieksplorasi dari alam yang disterilisasi dan pemberian mineral yang seimbang. Proses pemurniannya dikenal sebagai hydro pro system. Saat ini pangsa pasar terbesar air mineral masih dikuasai brand Aqua, Vit, Ades, 2 Tang, dan beberapa merek lainnya seperti  Cleo, dan Avian. Dalam praktik komunikasi pemasarannya, Aqua mengambil positioning strategi bahwa harga lebih tinggi dari pesaing lain karena paltform image yang dibentuk sejak awal sebagai pionir. Minuman sari buah (juice) atau sirup adalah minuman esktrak buah atau pemberian esens rasa buah dengan beberapa brand seperti ABC, Marjan, Buavita, Berry, Sunripe, dan lain-lain. Sedangkan minuman sari daun adalah ekstrak daun seperti teh dan variannya yang dicampur dengan esens bunga-bungaan. Kategori teh botol dikuasai oleh brand seperti Teh Botol Sosro. Frestea, Fruit Tea, dan Tekita.  Teh botol kemasan plastik juga menjadi trend sangat berarti dengan agresifnya kampanye pemasaran merek-merek seperti Zestea, NüTea, dan Green-T. Sementara teh celup, kampanye pemasarannya didominasi oleh brand Sari Wangi, Sosro, dan Bendera. Varian minuman teh yang dicampur dengan karbonasi juga patut diperhitungkan dalam persaingan. Misalnya produsen PT Sinar Sosro mengeluarkan produk teh yang berkarbonasi dengan merek Tebs, sementara PT Delta Djakarta memasarkan produk Sodaku dan Soda Ice dengan tiga rasa: rasa apel, rasa jeruk dan rasa gula asam.
           
Persaingan Produk Makanan
Persaingan dalam industri makanan olahan hampir sama kondisinya seperti pada industri minuman. Pemain-pemainnya pun terdiri atas beberapa pemain besar yang menguasai pasar, seperti PT Unilever Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur, PT Wingsfood, PT Khong Guan Indonesia, PT Garudafood, PT Mayora Indah, PT Prasidha Aneka Niaga, SMART Corporation, PT Suba Indah, dan lain-lain. Varian produk makanan olahan mencakup mie instan, biskuit, kacang garing, makanan kudapan, chocolate, bubur bayi, es krim, vitamin suplemen, dan lain-lain.
Persaingan produk mie instan saat ini sangat tajam terutama setelah kelompok Wingsfood menggebrak market leader Indomie dengan Mie Sedaap. Brand lain yang mengikutinya adalah Supermie, Mie ABC, Kare, Alhamie, dan lain-lain. Sedangkan pasar biskuit saat ini dikuasai beberapa brand ternama seperti Roma, Nissin, Khong Guan, Marie Regal, dan Monde. Salah satu kategori yang sejak lama diperebutkan dua merek besar adalah kacang garing, yaitu brand Garuda dan Dua Kelinci, keduanya bahkan tidak memberi peluang berarti bagi brand kecil lain untuk diperhitungkan dalam kompetisi.
Selain Chocolate yang didominasi oleh brand seperti Silver Queen, Cadbury, Toblerone, Van Houten, dan Delfi, kategori produk Waffle cukup sering terlihat tayangan iklannya yang menandakan persaingan cukup tajam seperti brand Tango, Sando. Sementara Waffle stick sangat dikenal brand Astor, Twister, Stikko, dan Gery. Jenis waffle lain seperti Waffle chocolaet bars didominasi oleh brand seperti Kit Kat, Beng Beng, Top, dan lain-lain. Sementara untuk produk makanan kudapan (Snack) beberapa brand yang bersaing ketat adalah Taro, Cheetos, Lays, Chitato, Chiki, dan Jet-Z. Kelompok produk yang dikenal sebagai Sandwich juga menjadi pengisi jeda pariwara favorit pada program anak-anak di televisi seperti Oreo, Good Time, Tim Tam, Ritz, Better, Trenz, dan lain-lain.
Produk es krim memiliki kampanye pemasaran yang sangat berarti dalam mengubah peta persaingan, terutama ketika PT Unilever Indonesia secara terpadu mampu menggiring pasar untuk menanamkan brand awareness Walls. Sementara pemain lama seperti Campina berupaya keras bertahan, dan keduanya silih berganti sebagai market leader. Sedangkan brand lain seperti Diamond, IndoMeiji mengikuti dari jauh dan brand Hägen Daz dan Baskin & Robbins menggarap ceruk menengah atas.
Persaingan produk makanan bubur bayi (baby poridge) diperebutkan beberapa brand seperti Nestle, Promina, SGM, dan Milna. Intensitas penayangan kampanye iklannya sebanding dengan produk-kaitannya seperti susu untuk ibu hamil dan susu untuk bayi.
.
Produk bumbu-bumbuan dan penyedap merupakan salah satu produk konsumsi yang sangat dikenal audiens TVC dan pembaca beberapa media cetak segmen perempuan. Beberapa kategorinya adalah kecap (dengan brand yang bersaing ketat seperti Bango, ABC, Indofood, Piring Lombok, National), Saus sambal dan saus tomat (ABC, Indofood, Sasa, Piring Lombok, Del Monte), Margarine (dengan brand yang bersaing ketat seperti Blue Band, Simas, Meadow Lea), Minyak goreng (dengan merek yang mendominasi pasar seperti Bimoli, Filma, Sania, Tropical, Kunci Mas).
            Persaingan Produk Toiletries
Persaingan brand produk-produk toiletries patut dicermati mengingat produk-produk inilah yang sangat mendominasi belanja iklan komunikasi pemasaran di berbagai media. Intensitas periklanan tentu saja dipengaruhi sejauhmana intensitas persaingan antar brand dan produser pada kelompok barang konsumsi ini. Beberapa kategori produk seperti shampoo memegang ranking tertinggi dalam belanja iklan sepanjang periode, dengan brand yang bersaing seperti Sunsilk, Clear, Pantene, Head & Shoulder, Lifebuoy, Rejoice, Emeron, dan Zink. Demikian juga untuk kategori sabun mandi yang diperebutkan oleh Lux, Dove, Giv, Harmony, Shinzui, dan lain-lain. Sedangkan sabun mandi kesehatan (keluarga) beberapa brand yang bersaing (dari segi intensitas promosi periklanannya) adalah Lifebuoy, Nuvo, Medicare dan merek sabun medikal seperti Dettol, JF sulfur, dan lain-lain.
Pada kategori pasta gigi, beberapa brand yang sangat kuat promosi periklanannya adalah Pepsodent, Close Up, Ciptadent, dan Formula, sedangkan brand lain seperti Enzym, Maxam, dan Sensodyne menggarap ceruk kecil. Produk sabun deterjen merupakan produk yang juga sangat dominan dalam menghabiskan belanja iklan. Beberapa brand yang bersaing ketat dalam hal ini adalah Rinso, Attack, So Klin, Surf, dan Daia. Produk deterjen biasanya disertai dengan produk pelengkap seperti fabric softener dengan beberapa brand yang ketat bersaing di pasar yaitu Molto dan So Klin. Kedua brand ini sangat dominan dalam tayangan komunikasi periklanannya. Brand So Klin sendiri juga bersaing dalam kategori produk pembersih lantai dengan pesaing utamanya seperti Superpell. Sementara untuk kategori sabun colek, beberapa brand juga bersaing ketat melakukan komunikasi pemasaran kepada publik seperti Sunlight, Wings Biru, Ekonomi, dan B-29. Produk baby diapers sangat lekat dengan brand awareness Pampers sebagai salah satu brand yang menjadi market leader, sementara pesaing lain sangat ketat membuntuti seperti Huggies, Mamy Poko, dan lain-lain.
 Persaingan Produk Consumers Lainnya
Persaingan produk consumer lainnya terlihat pada kategori rokok, insektisida, fungisida, telekomunikasi, minyak pelumas, otomitif roda dua, dan barang elektronik. Pada kategori rokok, hampir semua brand menayangkan kampanye pemasarannya meskipun dalam durasi yang bervariasi yang dibagi ke dalam beberapa varian. Jenis rokok sigaret kretek tangan didominasi Dji Sam Soe, Sampoerna Hijau, Gudang Garam Merah, dan Djarum Coklat serta Djarum 76. Sedangkan jenis Sigaret Putih Mesin diperebutkan oleh brands Marlboro, Lucky Strike, dan Dunhill, sementara jenis Sigaret Kretek Mesin didominasi oleh Gudang Garam Surya, Gudang Garam Filter, dan Jarum Super, Jarum Black Tea. Jenis rokok putih (Low Tar Low Nicotine) didominasi oleh A Mild, Class Mild, Star Mild, LA Lights, Mezzo Mild, dan U Mild.
Produk insektisida tidak kalah ketatnya persaingan antar brand yang beredar, terutama dilihat dari penayangan iklan cetak dan TV komersilnya. Jenis insektisida bakar dan elektrik, beberapa brand yang mendominasi pasar adalah Baygon, Tiga Roda, Domestos Nomos. Sedangkan jenis aerosol beberapa brand bersaing ketat seperti Hit, Baygon, Fumakilla Vape, Mortein, dan Raid. Sementara untuk produk fungisida terdapat tiga merek yang sangat intens bersaing yaitu Fungiderm, Daktarin, dan Canesten.
           

Persaingan Beberapa Produk Sekunder
Analisis persaingan produk-produk konsumsi diketengahkan karena sebagian besar aktivitas kampanye komunikasi pemasarannya mendominasi berbagai media dan kegiatan below the line. Produk barang konsumsi karena itu memungkinkan peluang terjadinya pelanggaran etika dalam periklanan. Selain itu beberapa produk sekunder berikut merupakan kategori yang memperlihatkan persaingan tajam di pasar, sehingga perlu diuraikan peta persaingannya. Beberapa produk dimaksud adalah produk konsumsi telekomunikasi, produk otomotif khususnya roda dua dan minyak pelumas, produk elektronik, dan jasa keuangan. Selain produk handset (hardware), juga persaingan ketat produk telekomunikasi mobile terutama produk konsumsi pulsa menjadi pemicu utama dalam menciptakan style kampanye komunikasi pemasarannya. Brands yang bersaing ketat dalam kategori ini adalah Mentari, Simpati, pro-XL, Flexi, Fren, Matrix, IM3, Esia.
Produk otomotif khuasusnya kendaraan roda dua patut untuk dicermati sehingga dalam tulisan ini mengulas beberapa brands yang bersaing ketat di dalamnya, seperti Honda, Yamaha, Suzuki masing-masing dengan berbagai variannya. Produk minyak pelumas merupakan salah satu kategori yang produk-kaitan dengan otomotif. Ketatnya persaingan dalam kategori ini memungkinkan terjadinya pelanggaran dalam etika komunikasi periklanan. Beberapa brand yang mendominasi belanja iklan adalah Oil Top 1, Fastron, Mesran, Castrol, dan lain-lain.
Produk elektronik, komputer dan digital lainnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konteks persaingan pasar barang sekunder. Meskipun merek-merek ternama masih kokoh mendominasi belanja iklan, namun pada level tertentu pangsa pasar mereka juga tergerogoti oleh brand-brand lokal dan brand China yang merambah pasar Indonesia—terutama akibat distribusi ilegal.
Ketatnya persaingan produk jasa keuangan di tengah-tengah upaya konsolidasi industri perbankan Indonesia mengindikasikan belum kokohnya fundamental setiap pemain. Kondisi ini memberikan peluang terjadinya praktik kampanye komunikasi pemasaran yang tidak sehat antar pelaku. Beberapa brands bahkan saling kejar-mengejar dengan janji dan iming-iming.
 Aspek Etika dalam Komunikasi Periklanan
Beberapa peraturan perundangan berkaitan dengan etika bisnis secara keseluruhan telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia, yaitu: Undang-undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang tentang Hak Cipta, Undang-undang tentang Perusahaan, Undang-undang tentang Penyiaran, Kode Etik Wartawan Indonesia, dan Kode Etik Pariwara Indonesia. Konstitusi dan code of conduct ini (seharusnya) menjadi pedoman praktik berbisnis yang sehat di semua lapisan. Lebih khusus lagi, praktik-praktik kampanye komunikasi pemasaran harus mempertimbangkan segi-segi etika persaingan yang sehat di satu sisi, dan pada sisi lain periklanan harus mengdepankan semangat persaingan itu. Dengan demikian setiap pelaku usaha harus menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Selain itu, pelaku usaha juga harus turut mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui praktik persaingan usaha yang sehat sehingga dapat tumbuh denganbaik adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Karena etika periklanan Indonesia yang dibangun berazaskan kepada nilai-nilai luhur, seperti
1) jujur, benar, dan bertanggungjawab
2) bersaing secara sehat,
3) melindungi dan menghargai publik, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, dan tidak bertentangan dengan hokum yang berlaku.
Sesungguhnya etika persaingan usaha yang sehat merupakan suatu tugas pemberdayaan “budaya baru”. Upaya memasyarakatkannya membutuhkan proses penyadaran yang panjang setelah sekian lama bangsa kita berada dalam kekuasaan yang tidak atau belum menanamkan benih-benih bersaing secara sehat tersebut. Perilaku negatif para pelaku usaha yang bersenyawakan dengan birokrasi telah menumbuhsuburkan iklim yang tidak sehat: yang kuat memakan yang lemah, yang besar membunuh peluang hidup yang kecil. Karakter inilah yang masih melekat dalam dunia bisnis kita, termasuk dalam gaya komunikasi pemasarannya yang sebagian cenderung merendahkan arti penting persaingan sehat.
Fungsi ekonomi dan fungsi sosial periklanan harus dikembangkan secara berimbang (Starck dan Kruckeberg.Inilah yang harus dipahami oleh setiap pelaku komunikasi pemasaran agar ditumbuhkan menjadi bagian dari karakter bisnis industri komunikasi selain fungsi pembelajaran bagi publik. Masyarakat yang terbangun semakin baik melalui pemberdayaan konsumen pada gilirannya akan turut membangun korporasi agar senantiasa inovatif, melakukan diferensiasi dan efisiensi  pengelolaannya. Jika konsumen menjadi semakin pintar (berdaya), maka perusahaan akan semakin inovatif agar terjalin hubungan saling menguntungkan dalam jangka panjang. Bahkan Becket menilai pentingnya etika komunikasi itu sebagai fondasi moral dalam menyusun social & human sciences secara lintas terpadu melalui manajemen dan komunikasi internal, public affairs & marketing, periklanan, media dan publikasi,dan dalam penggunaan teknologi informasi.
Dalam konteks ini, isu-isu berkaitan dengan etika periklanan di Indonesia dan juga bersifat universal mencakup beberapa hal penting, yaitu:
a) Swakrama sebagai sikap dasar industri periklanan yang dianut secara universal
b) Menempatkan etika dalam struktur nilai moral yang saling dukung dengan ketentuan perundang-undangan sebagai struktur nilai hukum
c) Membantu khalayak memperoleh informasi sebanyak dan sebaik mungkin, dengan mendorong digencarkannya iklan-iklan persaingan, meskipun dengan syarat-syarat tertentu
 d) Mengukuhkan paham kesetaraan jender, bukan sekadar persamaan hak, perlindungan, ataupun pemberdayaan terhadap perempuan
 e) Perlindungan terhadap hak-hak dasar anak
f) Menutup ruang gerak bagi eksploitasi dan pemanfaatan pornografi dalam periklanan
g) Membuka diri bagi kemungkinan terus berkembangnya isi, ragam, pemeran, dan wahana periklanan
 h) Dukungan bagi segala upaya yang sah dan wajar untuk dapat meningkatkan belanja per kapita periklanan nasional.
Pemaknaan Semiotik Komunikasi Periklanan Berbagai Produk
Sampel iklan yang dikumpulkan kemudian dianalisis terhadap isi pesan iklan dengan metode penilaian pemaknaan atas tanda-tanda yang ada melalui sarana lihatan (visual sense) atau semiotika visual.Kaitannya dengan makna persaingan dalam analisis konten komunikasi periklanan menurut Davis mencakup berbagai elemen sebagai berikut:
1) format komersial
 2) struktur komersia
 3) benefit profuk yang utama
4) benefit tambahan dari produk
5) jenis proposisi penjualan
Etika persaingan dalam periklanan dicermati dari sejauhmana konten iklan memperhatikan aspek-aspek persaingan yang sehat. Dalam hal ini Kode Etik Periklanan Indonesia (EPI) telah merumuskan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan perilaku bersaing. Pertama, perlakuan pembandingan dalam konten iklan. EPI menjelaskan bahwa perbandingan antar brand secara langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. Spesifiksi teknis antar brand dapat diadu antara satu dengan lainnya sesuai dengan karakteristik dan kelas produk bersangkutan. Namun demikian, jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber, dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi atau lembaga yang berkompeten untuk menilai riset atau analisis yang dimaksud. Sedangkan jika dilakukan pembandingan secara tidak langsung, maka harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak, misalnya satuan pengukuran dan konsistensinya. Penggunaan data riset dan hasil uji laboratorium sebuah badan independen misalnya suatu media inilah yang seringkali diperdebatkan, karena tingkat independensi suatu media bisa dipertanyakan.
Salah satu jenis pembandingan yang kerap mengundang permasalahan dalam etika persaingan adalah perbandingan harga. Menurut EPI, perbandingan harga hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus disertai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai. Penjelasan yang memadai inilah yang dinilai tidak dipenuhi oleh setiap pengiklan yang mengedepankan persaingan dengan ”peperangan” harga. Misalnya, ”penalaran” yag sulit diterima akal sehat etika persaingan adalah iklan perbandingan harga yang tidak menyebutkan harga pesaing, namun mengatakan ”berapa pun selisih kelebihan bayar produk yang sama di tempat lain akan kami ganti, sebagai bukti bahwa harga kamilah yang termurah”. Model perbandingan seperti ini benar-benar mematikan bisnis pesaing lain secara wajar.
Selain perbandingan harga, dalam observasi ini kasus yang banyak dilakukan adalah persaingan tidak sehat yang dilakukan dengan merendahkan produk pesaing lain. Padahal etikanya setiap iklan tidak boleh menampilkan visual maupun verbal yang mengindikasikan merendahkan produk pesaing-pesaingnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa adegan yang memperlihatkan merendahkan pesaingnya adalah: dengan menyepak-tangan image produk pesaing yang ditaruh sejajar dengan produknya sendiri, atau dengan memperlihatkan bentuk kemasan produk pesaing yang sangat khas (misalnya bentuk botol, kaleng, dan sejenisnya) yang kemudian secara visual disisihkan/digantikan dengan produk yang diiklankan.
Selain peniruan produk, brand, tagline, para pesaing yang tidak memperhatikan aspek persaingan sehat ada yang meniru iklan pesaingnya. Padahal EPI telah menggariskan bahwa tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti. Kode etik ini juga enegaskan bahwa iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.
Salah satu ketentuan yang seringkali dilanggar oleh pengiklan adalah penggunaan tanda asteris atau tanda bintang. Pada ketentuan EPI dinyatakan bahwa tanda asteris pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk.
Kesimpulan.
Persaingan ketat terjadi antar brand terutama pada produk-produk konsumsi (consumer goods) seperti produk minuman, produk makanan, produk toiletris, dan beberapa produk sekunder lainnya seperti otomotif roda dua dan minyak peluas sejauh kelompok produk yang diobservasi. Style komunikasi periklanan pada berbagai kategori produk yang bersaing ketat memiliki kecenderungan untuk menghasilkan tayangan-tayangan iklan yang konten-nya cenderung melanggar etika persaingan dan kode etik periklanan. Sebagian besar pelanggaran etika dalam praktik komunikasi periklanan memperlihatkan upaya merendahkan produk-produk pesaing baik secara visual maupun secara verbal dan berbagai bentuk pelanggaran lain dari kode etik periklanan.







DAFTAR PUSTAKA
http://www.esaunggul.ac.id/article/etika-persaingan-dalam-komunikasi-pemasaran/

Aitchison, Jim, “Cutting Edge Commercials: How to Creative the World’s Best TV Ads (1) and Print Ads (2) in the 21st Century”. Prentice Hall, Singapore. 2001
Altstiel, Tom; Jean Grow, “Advertising Strategy: Creative Tactics from the Outside/In”. Sage Publications. 2006
Arens, William F., “Contemporary Advertising”. Mcgraw-Hill College Publisher. 2005
Austin, Erica Weintraub dan Bruce E. Pinkleton. “Strategic Public Relations Management: Planning and Managing Effective Communication Programs”. Lawrence Erlbaum Associates, London, 2001.
Batey, Ian, “Asian Branding: A Great Way to Fly”. Prentice Hall, Singapore. 2002
Beckett, Robert. “Communication Ethics: Principles &Practice:, Journal of Communication Management, 2003; 8,1. p. 41-52. 2003
Davis, Joel J., “Advertising Research, Theory and Practice”. Prentice Hall Inc. 1997